Jumat, 31 Oktober 2014

H-O-L-I-D-A-Y is Lombok Sumbawa



PROLOG
Sore itu, aku terkejut saat sekretarisku memberikan sebuah kartu pos bergambar Gunung Rinjani yang indah kepadaku. Nama pengirim kartu pos itu adalah seorang wanita yang familiar dan sudah sangat ingin kutemui sejak lama. Di kartu pos tersebut tertuliskan nomor handphone dan sebuah pesan singkat: “Aku menemukanmu, Ariya! Sekarang bisakah kau penuhi janjimu? Temukan aku di Lombok-Sumbawa...” Pasti. Aku bisa. Akan kutemukan kau, Nana.

Saat itu juga aku memesan tiket pesawat dari Surabaya dengan tujuan Mataram, ibu kota Nusa Tenggara Barat.

--oOo--

Aku sedang berdiri di bangunan cantik dengan desain atap menyerupai atap rumah lumbung arsitektur Sasak. Sudah tiga menit lepas dari jam 6 pagi aku berada di area pintu keluar Bandar Udara Internasional Lombok untuk menunggu seseorang yang katanya akan menjemputku. Sedari tadi kulihat banyak orang berwajah lokal maupun bule berlalu-lalang membawa koper besar dan menenteng tas backpack mereka masing-masing. Jika tujuan mereka ke Lombok-Sumbawa untuk berlibur dan berwisata, aku tidak. Aku tidak pernah bisa menikmati wisata. Terakhir kali aku berwisata yang aku dapatkan hanyalah lelah dan kekecewaan. Toh, tujuan utamaku ke sini adalah memenuhi janji untuk menemukan Nana.

Seorang bapak berkacamata mendekatiku. Ia meminta maaf karena tidak menyadari jika aku sudah datang. Lalu dengan sopan ia memperkenalkan diri, Pak Dedi namanya. Nomor handphone yang ada di kartu pos Nana adalah milik Pak Dedi. Beliau lah yang akan membantuku mencari Nana. Setelah memasukkan barang-barangku ke bagasi mobil, kami berangkat menuju ke arah timur kota Mataram. Dalam perjalanan yang terlihat penuh dengan padang rumput dan pepohonan hijau, aku kembali teringat Nana. Dulu Nana sangat dekat denganku. Ia sudah menghilang sejak 10 tahun yang lalu. Terakhir kali aku bertemu dengannya adalah sesaat setelah kami lulus SMA. Ia mengajakku ke Gunung Bromo bersama teman-teman yang lain namun aku menolak ajakannya. Wajah sedihnya adalah ekspresi terakhir yang aku lihat darinya. Sungguh aku menyesal. Lamunanku buyar saat mobil berhenti dan Pak Dedi memanggilku. Kami sudah sampai. Inilah tempat dimana satu-satunya petunjuk yang Nana berikan kepada Pak Dedi untuk menemukan dirinya.

PETUNJUK PERTAMA DI TAMAN MAYURA
Taman Mayura. Itulah yang tertulis di papan nama tempat ini. Kesan pertama yang aku rasakan saat menginjak Taman Mayura adalah suasana religius, asri, dan sangat bersejarah. Pak Dedi memberikanku sebuah kain selendang kecil berwarna merah dan menyuruhku memakainya. Ia memasang kain merah di pinggangnya dan aku pun menirunya. Namun Pak Dedi yang melihatku seketika mengernyitkan dahinya dan terlihat heran.

“Mas Ariya, apakah sudah menikah?” tanyanya
“Belum, pak.”
“Sudah punya pacar?”
“Hampir... He..he..” jawabku sambil meringis. Pacar? Mengapa Pak Dedi mulai tanya yang aneh-aneh, pikirku.
“Kalau begitu, jangan mengikatkan kainnya di sebelah kiri seperti saya. Ini tanda bahwa saya sudah menikah. Ikatan di sebelah kanan untuk yang sudah punya kekasih. Kalau mas Ariya yang belum beristri atau pun belum punya pacar, ikatkan saja simpul kainnya di bagian tengah.”
“Walah.. Iya pak..” akupun membetulkan ikatanku. Dengan begini jadi terlihat jelas siapa yang masih jomblo di taman ini, ternyata banyak juga. Tapi ternyata ikatan selendang ini melambangkan terikatnya niat jahat maupun hal buruk di lingkungan yang suci ini. Aku mulai tertarik dengan tempat ini.


Kami masuk ke dalam kawasan Taman Mayura. Ada kolam besar di tengah-tengah taman yang di dalamnya berdiri bangunan terbuka yang disebut Bale Kambang. Cantik sekali. Aku teringat dengan Pantai Balekambang di Malang dengan pura yang berada di tengah pulau. Apakah Bale Kambang di Taman Mayura ini ada hubungannya dengan itu? Apakah pulau ini punya ikatan khusus dengan pulau Jawa? Aku semakin tidak mengerti saat melihat banyak patung khas kebudayaan Muslim, Cina dan Jawa. Aku ingin bertanya namun Pak Dedi terus berjalan karena Bale Kambang bukanlah tujuan kami.

Beberapa pura telah kami lewati, akhirnya kami berhenti pada satu pura. Disana terlihat seseorang pria berpakaian putih yang sepertinya telah usai bersembahyang. Ia berdiri, mengangguk tersenyum pada Pak Dedi, lalu ia menuju ke arahku. Sepertinya ia tahu kegelisahanku tentang tempat ini karena ia mulai menjelaskan tentang Taman Mayura.

“Taman Mayura merupakan saksi keberadaan kerajaan Singasari dan orang-orang Bali di Lombok pada abad ke-19 saat penjajahan Belanda, karena itulah tak perlu heran jika menemukan kemiripan nama hingga arsitektur Taman Mayura dengan beberapa tempat di Jawa maupun Bali. Selain itu, tempat ini juga merupakan saksi bahwa kebhinnekaan sudah ada sejak dulu tanpa ada masalah. Berbagai ras dan agama dapat hidup berdampingan dengan rukun. Tempat ini sungguh indah, bukan?” jelasnya.
“Iya,” aku mengangguk menyetujui.
 “Saya adalah pemangku di Taman Mayura. Sekarang ikut saya ke Bale Pawedan. Beberapa minggu yang lalu seorang gadis menitipkan sesuatu. Itu yang akan saya berikan kepada Anda.”

Sepucuk amplop surat dan sebuah kotak antik berukuran kecil diberikan olehnya. Kotak ini dibalut dengan kain songket khas NTB berwarna merah. Seperti koper, kotak ini terkunci dengan kode kombinasi. Anehnya bukan dengan angka 0 hingga 9, namun dengan huruf A hingga Z yang berjumlah 7 digit. Di dalam amplop yang kuterima, terdapat kartu dengan lambang aneh, berbentuk huruf ‘n’ yang bersambung dengan angka ‘9’. Di bawah lambang itu tertulis ‘Pura Mayura’. Apa maksudnya? Selain kartu, terdapat secarik kertas bertuliskan ‘Mercusuar Tanjung Ringgit’. Di sanalah petunjuk berikutnya.

PETUNJUK KEDUA DI TANJUNG RINGGIT
Sekitar tiga jam perjalanan akhirnya kami melihat sebuah menara dari kejauhan. Pak Dedi mengiyakan saat kutanya apakah kita hampir sampai. Syukurlah, karena aku sudah kewalahan selama dalam perjalanan, lalu mobil berhenti. Aku keluar mengikuti Pak Dedi melewati jalan setapak dikelilingi semak dan pepohonan kering. Pemandangan selanjutnya membuatku terpaku di tempat. Di depan mataku terhampar tebing-tebing cadas yang curam. Langit biru terpantul sempurna di samudera biru. Gulungan ombak yang menyapu laut saling menghempas tebing dan menciptakan buih-buih yang terlihat seperti butiran mutiara. Tak sengaja aku meneteskan air mata. Sungguh, sungguh indah sekali. Aku tak tahu berapa lama aku terdiam di sana, namun sempat aku menoleh dan Pak Dedi mengajakku untuk beranjak.


Mercusuar Tanjung Ringgit sudah di depan mata. Aku sudah memantapkan hati, siap tak siap untuk memanjat mercusuar demi petunjuk Nana berikutnya. Namun Pak Dedi malah berbelok ke arah bangunan bertuliskan Departemen Perhubungan. Kami bertemu dengan petugas di sana dan menjelaskan tujuan kedatangan kami. Petugas tersebut mengangguk paham sambil mengambil sesuatu dalam lemari. Sepucuk amplop dari Nana! Aku bersyukur dan lega dalam hati karena tidak perlu memanjat mercusuar peninggalan Belanda ini yang ternyata masih berfungsi dan digunakan sebagai petunjuk bagi kapal-kapal yang beroperasi di sekitar Tanjung Ringgit.

Tujuan kami selanjutnya sudah diketahui. Pak Dedi bergegas kembali ke mobil, namun aku berbicara kepada Pak Dedi untuk dapat sedikit berlama-lama di sini karena aku ingin sedikit lagi menikmati Tanjung Ringgit yang terlihat masih belum terlalu banyak pengunjung. Aku dapat melihat banyak sapi yang sedang mencari makan berserta pulau Sumbawa di seberang lautan. Saat aku mengamati lautan dari tepi tebing, terlihat banyak sekali terumbu karang dan ikan-ikan yang cantik. Aku mencoba melewati jalan kecil dan tidak sengaja menemukan sebuah meriam yang katanya merupakan peninggalan Jepang. Setelah puas, aku kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan.

Di dalam perjalanan, aku melihat kembali isi dari amplop yang baru saja aku terima. Kartu berlambang seperti angka ‘6’ terputus atau huruf ‘G’ kapital bertuliskan Tg. Ringgit membuatku semakin tidak mengerti. Aku berharap tujuan selanjutnya dapat sedikit mencerahkan maksud dari petunjuk-petunjuk berupa simbol ini. Karena yang akan kami tuju selanjutnya adalah Desa Sade, permukiman adat Suku Sasak yang masih mempertahankan adat istiadat dan kebudayaan Sasak dengan sangat baik, hingga memperoleh penghargaan sebagai salah satu Desa Wisata terbaik di Indonesia.

PETUNJUK TERAKHIR DI DESA SADE?
Tulisan ‘Selamat Datang’ saat memasuki kawasan Desa Sasak Sade membuatku sedikit lega. Sekarang kami berada di tengah-tengah keunikan arsitektur Sasak. Aku terkesan dengan seluruh rumah yang dinaungi atap dari jerami. Dindingnya dari anyaman bambu yang rapih menambah keeksotisan desa ini. Terdapat pula beberapa lumbung dengan bentukan lengkungnya yang khas, cantik sekali. Aku semakin penasaran ingin segera melihat bagaimana keadaan interior rumah adat Sasak ini, namun Pak Dedi masih sibuk menelepon.

Sesaat setelah Pak Dedi menutup teleponnya, seorang pria yang masih muda mengenakan batik biru bermotifkan lumbung-lumbung menghampiri kami dan kalau tidak salah itu merupakan motif Batik Sasambo, batik khas NTB. Ternyata ia adalah tour guide desa Sade. Ia yang akan mengantar kami ke kepala desa sekaligus menjadi penerjemah kami. Ya, sebagian penduduk desa Sade terutama orang tua di sana tidak berbahasa Indonesia dan hanya menggunakan bahasa Sasak.

Jalanan desa ini dipenuhi anak kecil yang bermain-main. Terlihat pula ibu-ibu yang sedang memintal benang dan menenun kain. Beberapa aksesoris cantik juga dijual di beberapa toko yang ada. Akhirnya kami sampai di rumah kepala desa. Untuk masuk kami harus menunduk, selain karena pintunya rendah, itu sebagai pertanda untuk menghormati tuan rumah. Di dalamnya duduk seorang kakek yang berbicara dalam bahasa Sasak dan sepertinya ia mempersilahkan kami duduk. Aku pernah melihat di televisi bahwa lantai rumah adat ini dilapisi kotoran kerbau. Aku melihat kecanggihan dari penerapan kotoran kerbau ini, karena hal tersbut dimaksudkan untuk menjaga suhu ruangan saat  panas agar tetap sejuk, dan saat dingin agar tetap hangat.


Setelah memperkenalkan diri dan berbincang-bincang sebentar akhirnya kepala desa mengeluarkan sebuah amplop yang sudah kutunggu-tunggu untuk diperlihatkan. Namun kepala desa menolak memberikannya sekarang. Beliau memintaku untuk bermalam di sini karena ia ingin menjamuku makan malam. Aku sangat terharu karena aku orang dari luar dan asing, namun mereka menerimaku seperti keluarga mereka sendiri. Makan malam usai dan kami lanjut ngobrol dengan bahasan yang menarik seperti prosesi pernikahan adat Sasak yang unik yaitu dengan penculikan dan kawin lari. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat seorang pria menceritakan pengalamannya dulu. Aku mulai tersenyum. Tempat ini menyenangkan sekali. Dan aku merindukan Nana.

Pagi-pagi sekali bahkan matahari belum terbit saatnya aku kembali bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Kepala desa telah memberikan amplopnya kepadaku semalam sekaligus menjelaskan maksud dari lambang pada kartu-kartu yang ada. Lambang tersebut merupakan angka-angka aksara Sasak atau juga dikenal sebagai aksara Jejawan. Kartu yang kudapatkan saat berada di Taman Mayura adalah 7. Angka pada kartu Tanjung Ringgit adalah 4. Dan kartu yang kudapatkan di Desa Sade adalah 6. Kepala desa tidak bisa menjelaskan maksud di balik angka-angka itu.

Sekarang aku dibingungkan untuk memilih. Tujuan berikutnya pada amplop tidak hanya satu, tapi tiga. 1. Hutan Pusuk, 2. Pulau Bungin, dan 3. Moyo Island. Ada yang aneh pada petunjuk ini. Mengapa Moyo Island tidak ditulis Pulau Moyo? Dan apa maksud angka-angka pada kartu? Mengapa Nana menggunakan huruf-huruf sebagai kode? Tunggu. Tunggu. Huruf? Dulu aku sering bermain tebak kata bersama Nana. Kami diberi kesempatan tiga kali kesalahan untuk memilih huruf untuk menebak kata yang tepat. Jika seperti itu berarti.....

Aku mulai mencoret-coret buku catatanku.
Huruf ketujuh dari kartu ‘Pura Mayura’ adalah ‘Y’.
Huruf keempat dari kartu ‘Tg. Ringgit’ adalah ‘I”
Huruf keenam dari kartu ‘Desa Sade’ adalah “A”
Berarti sisa huruf lainnya bisa kita perkirakan dengan melihat jumlah huruf destinasi yang tersisa. Memang kurang satu petunjuk tempat. Namun jika ada 6 huruf yang sudah diketahui maka menemukan huruf ketujuh untuk membuka kotak itu, hanyalah masalah waktu.

Ketemu! Kode itu adalah ‘H O L I D A Y’! Aku coba memasukkan huruf-huruf itu. Dan.... Terbuka! Sebuah kartu pos di dalamnya dengan foto Pulau Moyo. Yang tertulis di sana adalah nomor handphone dan sebuah pesan singkat: “Aku mencintaimu...”

“Pak Dedi, kalau nanti saya ke Taman Mayura lagi, ikatannya akan saya pasang di sebelah kanan....”
“Lho? Apa? Mas Ariya kenapa nangis?”
“Tidak apa-apa... Ayo kita segera berangkat, pak!”

--oOo--

Nomor handphone di kartu pos pada kotak adalah milik nelayan pantai utara Sumbawa Besar. Ia mengantarku menuju Pulau Moyo dengan perahunya. Aku hampir sampai di dermaga dan dari kejauhan melihat siluet wanita cantik yang selalu ada di mimpiku. Namun ini bukan mimpi. Perahu menepi. Aku melompat dan segera berlari ke arahnya. Nana. Aku memeluknya sambil berkata, “Aku mencintaimu.....”


EPILOG
“Terima kasih kamu telah memaksaku untuk ke Lombok Sumbawa. Aku tidak akan pernah tau bahwa liburan itu akan sangat mengasyikkan. Aku tidak pernah tau kalau semua lelah kita saat berlibur akan terbayar setara. Bahkan lebih!”
“Yah.. Itulah tugasku di sini. Membuat wisatawan seperti kamu tak akan pernah melupakan Lombok Sumbawa,” ujar Nana.
“Aku penasaran. Huruf yang kelima yaitu ‘D’, destinasi apa yang ingin kamu tunjukkan ke aku?”
“Belum aku temukan, hahaha..” ia tertawa. “Masih banyak tempat wisata di Lombok Sumbawa yang ingin aku gali, lalu aku sebar luaskan ke masyarakat luas termasuk sebagai tujuan berlibur yang wajib dikunjungi masyarakat internasional. Sungguh misi yang sangat asik, kan? HOLIDAY is Lombok Sumbawa, kan?”
“Ya! HOLIDAY is Lombok Sumbawa!”

--oOo--

Keterangan: Tulisan ini merupakan kisah fiktif namun menggunakan setting dan latar belakang yang sebenarnya ada pada Lombok dan Sumbawa.



Afif Web Developer

Afif Zakariya seorang mahasiswa arsitektur yang memiliki hobi travelling, membaca, berenang, dan menulis blog. Dia bercita-cita untuk menguasai dunia.

Senin, 27 Oktober 2014

Kita Semua Adalah Agen Sadar Pajak


Kota Malang memang pantas menyandang gelar Kota Sadar Pajak karena terbukti sebagian besar masyarakatnya telah sadar pajak. Hal ini terlihat dengan jumlah penerimaan pajak dari tahun ke tahun yang semakin meningkat. Pada tahun 2013 penerimaan telah melampaui target atau surplus di atas 100% yaitu 114% dengan total penerimaan pajak di kota Malang sebesar Rp. 215 miliar. Itu menandakan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang berasal dari pajak masih paling tinggi dan merupakan salah satu sumber utama selain dana dari pemerintah pusat, untuk menunjang pertumbuhan perekonomian kota Malang.
            Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kota Malang Ir. Ade Herawanto, MT mengatakan, target penerimaan pajak pada tahun ini hingga akhir Desember 2014 diharapkan dapat mencapai Rp. 250 miliar. Namun, target tersebut akan sulit untuk tercapai jika tidak adanya kerja sama dari semua Wajib Pajak. Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Kota Malang telah melakukan berbagai terobosan dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat untuk taat membayar pajak. Selain Operasi Sadar Pajak, adanya terobosan lain seperti pemberian sembako, adanya hadiah mobil, maupun jalan sehat, dan beragam program lainnya menjadi inovasi yang sangat efektif mendorong masyarakat untuk taat membayar pajak.
            Berbagai kemajuan dan usaha yang telah dicapai Dispenda Kota Malang tersebut ternyata masih belum cukup. Kesadaran dan antusiasnya masyarakat menengah ke bawah untuk membayar pajak ternyata belum diikuti oleh para pengusaha yang notabene merupakan masyarakat menengah ke atas. Sungguh ironi dan disayangkan karena masih banyak pengusaha di kota Malang yang belum membayarkan pajaknya hingga beberapa tahun dengan tunggakan yang bisa mencapai puluhan juta rupiah pada tiap satu jenis usaha. Padahal hasil dari pajak ini akan dikembalikan lagi kepada masyarakat berupa program pembangunan dan berbagai program lain, termasuk didalamnya untuk pendidikan dan kesehatan.
            Memang sudah menjadi kewajiban Dispenda untuk menggalakkan kesadaran masyarakat untuk taat membayar pajak. Namun sebagai warga masyarakat yang tinggal di kota Malang, sebenarnya kita juga berkewajiban untuk memajukan dan membangun kota Malang. Yang bisa kita lakukan saat ini salah satunya adalah dengan cara menjadi agen sadar pajak di daerah dan lingkungan kita masing-masing. Di saat semua masyarakat sadar dan taat pajak, maka di saat itulah Malang akan jauh lebih maju karena pendapatan daerahnya dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Berikut adalah langkah-langkah utama yang dapat kita ikuti untuk bisa menjadi agen sadar pajak.
Langkah 1. Mengetahui Jenis-jenis Pajak Daerah di Kota Malang
            Disebutkan dalam Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah, bahwa ada tujuh jenis pajak daerah yang terdiri atas pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak parkir, dan pajak air tanah. Tiap jenis pajak daerah tersebut juga terdiri atas berbagai jenis usaha dan pelayanan. Besaran pajak yang harus kita keluarkan pun beragam dengan beberapa ketentuan yang berlaku. Mulai dari 5% hingga 25%, bahkan ada yang mencapai 35%. Dengan mengetahui hal ini, maka kita dapat tau berapa uang yang telah kita keluarkan untuk pajak dan sebenarnya kita sudah mulai sadar bahwa kita juga telah taat membayar pajak. Bagi pengusaha, pengetahuan ini diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam penyetoran uang pajak. Kebocoran uang pajak sering terjadi karena kesalahan perhitungan dan belum diaplikasikannya e-tax sehingga kecurangan pajak masih belum dapat terkontrol dengan baik.
Langkah 2. Mengamati, Memeriksa, dan Mengingatkan
            Setelah kita mengetahui jenis-jenis pajak dan jumlah yang harus dibayarkan sesuai aturan yang berlaku, kita dapat ikut memeriksa dan mengkroscek, apakah orang atau suatu badan usaha tertentu telah melaksanakan kewajibannya dalam membayar pajak daerah. Hal ini dapat kita cek saat kita telah menggunakan suatu jenis usaha dan menerima bukti pembayaran atau bon. Jika dalam bon yang kita terima tertulis pajak dengan tagihan sekian persen, itu berarti usaha yang bersangkutan telah menunaikan kewajibannya dalam usaha taat membayar pajak. Tapi jika dalam bon yang kita terima tidak tercantum besaran pajak, kemungkinan sudah terhitung di dalam tiap item yang telah kita bayarkan. Namun hal ini bisa kita tanyakan langsung saat membayar, apakah barang/jasa yang kita bayarkan ini sudah dihitung juga pajaknya. Jika belum, kita bisa mengingatkan karena sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak membayarkan pajaknya bisa berupa sanksi administrasi bahkan sanksi pidana.
Langkah 3. Mengawasi Penggunaan Uang Pajak
Pengalokasian dan pemanfaatan uang pajak diserahkan sepenuhnya oleh pemerintah daerah. Kita bisa mengawasi penggunaan uang pajak yang telah kita bayarkan dengan memeriksa ringkasan laporan realisasi APBD yang bisa dilihat pada website pemerintah kota Malang yang telah mencantumkan transparasi pemasukan dari sektor pajak dan lainnya, juga pengeluaran belanja dan pembiayaan lainnya. Dengan mengawasi penggunaan uang pajak, kita sadar bahwa uang pajak telah dialokasikan pada sektor-sektor yang dapat dirasakan bagi pembangunan dan kemajuan Kota Malang. Sehingga tidak ada alasan bagi kita untuk membayar pajak karena khawatir uang yang kita bayarkan digunakan tidak sebagaimana mestinya.
            Marilah ajak keluarga dan teman-teman di lingkungan kita untuk taat selalu membayar pajak. Karena sebenarnya kita semua adalah agen sadar pajak. Kita membayar pajak bukan untuk terlepas dari sanksi, namun karena kita sangat butuh untuk membayar pajak yang digunakan untuk mengembangkan kota Malang. Kitalah warga kota Malang yang akan selalu memajukan daerah kita yang tercinta ini. Orang bijak, taat pajak. Umak hebak, bayar pajak, ker!


Sumber Referensi:
Anam, Choirul (2014, 29 April). Kejar Target Pajak Rp250 Miliar, Malang Bentuk
Satgas Khusus,Diakses pada 23 September 2014 dari http://surabaya.bisnis.com/

Hadi, Wiyoso (2012, 29 Agustus). Mendorong Masyarakat Sebagai Agen Sadar Pajak
Nasional, Diakses pada 24 September 2014 dari
http://www.pajak.go.id/content/article/

Oktavia, Hanum (2013, 16 Desember). Dispenda Malang Klaim Penerimaan Pajak
Lampui Target. Diakses pada 23 September 2014, dari http://m.beritajatim.com/politik_pemerintahan/

Pemerintah Kota Malang, RINGKASAN LAPORAN REALISASI ANGGARAN
PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH – Sampai dengan 31 Desember 2012 Tahun Anggaran 2012. dari http://www.malangkota.go.id/

Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah


Afif Web Developer

Afif Zakariya seorang mahasiswa arsitektur yang memiliki hobi travelling, membaca, berenang, dan menulis blog. Dia bercita-cita untuk menguasai dunia.