Prolog
Saat
saya mendapatkan misi untuk mengikuti Bearing Witness Greenpeace Indonesia,
saya merasa ini adalah sebuah tanggung jawab yang besar. Bersama lebih dari 10
orang yang mengikuti perjalanan ini, saya akan mengajak teman-teman mengikuti
petualangan yang telah kami alami. Siapkan senjata dan popcorn kalian karena ini adalah petualangan yang sangat seru.
CATATAN: ‘Ndeso’ disini kita sepakati untuk diartikan sebagai kata norak, nggak keren, atau udik, tidak berpikiran maju.
Desa
Dosan – Desa yang Nggak Ndeso
Hari ke-1:
Tujuan
awal kami adalah Desa Dosan, tempat dimana sawit yang konon katanya ramah
lingkungan-desa yang nggak ndeso karena sudah berpikiran jauh lebih maju. Jalanan yang awalnya rata, tiba-tiba menjadi berkelok dan penuh pasir
berbatu. Pemandangan yang terlihat sepanjang perjalanan adalah lahan sawit.
Keberadaan sawit yang berlebihan dan kondisi jalan yang tidak biasa membuat
saya enek dan mual. Perjalanan masih di awal namun saya sudah K.O, saya mabok sawit-eh mabok darat. Untungnya jalan kembali
membaik dan pemandangan yang akan saya lihat selanjutnya membuat saya melupakan
kemabokan saya. Ya, bekas hutan terbakarlah yang saya saksikan. Bang Zamzami
dari Greenpeace yang saat itu bersama saya bilang, ini hanya sebagian kecil
saja karena kita akan melihat lebih dari ini di perjalanan esok. Saya hanya
bisa melongo tidak percaya. Lebih tepatnya tidak mau mempercayainya.
|
Bekas Terbakarnya Hutan di Lahan Gambut |
Setelah
sekitar 4 jam di perjalanan akhirnya kami tiba. Sampai di kawasan Desan
Dosan, langit sudah tak bercahaya, hanya
gelap yang ditaburi bintang-bintang. Di sana kami disambut dengan sangat baik
oleh bapak Kepala Desa Dosan dan keluarga Pak Dahlan. Pak Dahlah adalah salah
satu tokoh legendaris Desa Dosan yang mengenalkan warga pada ilmu tanaman sawit
yang diterapkan tahun 2003 untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, karena pak
Kades bilang dulunya pada tahun 2000 Desa Dosan masih termasuk wilayah yang
terbelakang atau IDT (Inpres Desa Tertinggal). Dengan dibantu oleh LSM Elang
yang masuk tahun 2004 dan melakukan penelitian selama satu tahun, kualitas
tanaman sawit meningkat drastis tanpa menambah jumlah lahan. Bagaimana caranya?
Saat
itu saya masih tidak percaya ada taman sawit yang ramah lingkungan. Yang saya
tahu sebelum ini, sawit itu tanaman jahat. Jahat sekali. Memang menghasilkan,
namun pengrusakan yang diakibatkannya tidak sebanding dengan yang kita
dapatkan. Mereka menyerap air dengan egois dan mereka dianggap sebagai raja
hingga orang-orang menghalalkan kehancuran lahan gambut. Saya tidak paham. Kerisauan
hati ini akan terjawab keesokan hari, karena malam itu sudah larut, waktunya
kami untuk beristirahat.
Hari ke-2:
Ternyata
tak jauh dari tempat kami, tersembuyi danau yang indah, Danau Naga Sakti
namanya. Danau Nagasakti memang sakti karena memiliki banyak kesaktian. Saat
musim hujan tidak pernah meluap dan banjir. Saat kemarau tidak pernah kering
dan berkurang. Airnya cukup bening padahal berada di lahan gambut yang biasanya
air berwarna kemerahan. Airnya juga tidak bisa diambil dengan pompa padahal
sudah didirikan bangunan untuk itu. Di sini juga merupakan tempat tinggal
berbagai satwa dan pernah dijumpai Harimau Sumatera, tapi tidak ada tanda-tanda
mereka saat kami berada di sana, begitu pula seekor Naga yang dikisahkan hidup
di dasar danau untuk menjaga kawasan Danau Naga Sakti. Tak apa, karena kami
ditemani seekor Bangau Hitam dan kicauan Monyet-monyet yang sepertinya sedang
sarapan di sana.
|
Danau Naga Sakti yang Sakti |
Lanjut
perjalanan kami ke lahan sawit. Ini dia tanaman jahat yang memandangnya saja
sudah membuat perut saya mules. Tapi sebentar lagi permasalahan perut saya akan
terobati karena saya sadar, tak semua sawit itu jahat. Sawit yang memiliki
gelar ‘Ramah Lingkungan’ harus punya satu syarat utama yaitu tidak melakukan
pengrusakan lingkungan ataupun memberikan efek buruk pada lingkungan. Dan di
sinilah sawit ramah lingkungan itu berada. Tanpa perlu melakukan Ekstensifikasi
seperti penambahan lahan sawit atau saya lebih suka menyebutnya menghancurkan
lingkungan, Intensifikasi sawit menjadi solusi modern. Dulunya dalam 2 hektar
lahan sawit hanya menghasilkan 400 kg buah sawit, tapi setelah dilakukan
Intensifikasi, dalam 2 hektar hasilnya berangsur-angsur naik menjadi 700 kg
bahkan mencapai 1,4 ton lebih. Sihir apa ini? Apakah kesaktian Naga Sakti?
|
Browning yang Benar Meningkatkan Hasil Buah Sawit |
Jawabannya
ternyata sederhana: Mengelola sawit secara benar. Itu saja. Jika dikelola
secara benar, hasilnya maksimal. Seperti penggunaan pupuk yang tepat hingga
perlakuan tanaman sawit dalam pengerjaannya. Kami diajari oleh Pak Dahlan
membedakan sawit mana yang buruk dan sawit mana yang baik. Sawit yang
diperlakukan secara baik akan menghasilkan buah yang baik dan maksimal tanpa
perlu menambah lahan sawit. Dari sinilah masyarakat Desa Dosan hidup. Tidak
adil jika kita hanya berteriak ‘hentikan penggundulan hutan’ tapi tidak mau
melihat dan memikirkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan.
Langkah nyata LSM Elang untuk menghentikan deforestasi merupakan salah satu
contoh yang berhasil untuk mendukung komitmen masyarakat Desa Dosan yang akan
tetap mempertahankan hutan mereka. Dari contoh baik ini kita pun bisa menciptakan
solusi sesuai dengan kemampuan kita, seperti tulisan saya sebelumnya jika kita
mau sedikit berimajinasi, karena kita adalah makhluk yang kreatif.
|
Buah Sawit, Perkilo Dihargai Sekitar 1000 Rupiah |
“Desa
Dosan yang berada di desa pedalaman tapi memiliki teknologi yang modern dan
berpikiran nggak ndeso.”
Permasalahan
Hutan Tidak Sesederhana Kelihatannya
Perjalanan
kami lanjutkan. Setelah berpamitan dengan keluarga Pak Dahlan, Pak Kades dan
LSM Elang, di tengah hari yang terik kami melanjutkan perjalanan ke Teluk
Meranti. Terdapat hutan yang katanya masih cantik dan ada fenomena alam arus
Bono yang sudah go international.
Semangat saya yang sedang tinggi tiba-tiba menciut. Dalam perjalanan, kami
melihat asap. Besar sekali. Kendaraan kami hentikan lalu kami turun. Saya gatal
ingin melakukan sesuatu, tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa saat itu. Memaksakan untuk memadamkannya juga tidak mungkin. Dengan ember? Kemungkinan besar kita akan tewas duluan karena menghirup banyak asap dan tidak tahu cara memadamkan lahan gambut dengan benar. Kaki
saya melemas seketika, ini mimpi buruk. Hutan, di depan mata saya sedang
menangis, mereka terbakar dan saya tak berdaya.
|
Hutan Kita sedang Terbakar |
Saya
melihat Burung Rangkong terbang menjauh dan Labi-labi Moncong Babi yang
kelihatannya juga sedang kabur lewat sungai. Saya hanya bisa mengamati dan
beberapa saat kemudian truk pemadam kebakaran datang ke arah lokasi kami.
Mereka mengambil air dari sungai dengan maksud memadamkan hutan yang ada jauh
di depan kami. Setelah melanjutkan perjalanan saya menceritakan kegundahan hati
saya. Mas Jeri dari Greenpeace bilang bahwa kebakaran tadi tidak seberapa,
mungkin cuma dua atau tiga titik. Bahkan truk pemadam kebakaran tadi sangat
tidak cukup untuk memadamkan hutan tadi. Saya mengiyakan dan membayangkan
bagaimana dengan hutan bagian yang lain yang tak terjamah saat ini. Ah, bertambah
pula kegundahan saya.
Sampai
kami di Teluk Meranti. Lagi-lagi bintang kembali menghiasi kedatangan kami.
Suara hiruk pikuk Burung Walet menyambut kedatangan kami. Katanya di sini
Harimau Sumatera juga pernah terlihat berteduh saat hujan di salah satu pohon.
Mendengar itu saya senang. Saya yakin, saya akan bisa bertemu dengan Harimau
Sumatera nanti. Bagaimana dengan Bono di Sungai Kampar? Arus Bono yang terkenal
sampai ke penjuru dunia tidak datang kali ini. Musim Bono yang besar ada pada
bulan ke-11 dan 12, mungkin kita bisa ke sini lagi tahun ini.
Kami
menginap di rumah panggung Pak Firdaus yang sangat luas. Ada Pak Dani sesepuh
yang bekerja sebagai nelayan dan Bang Yanto yang paham betul tentang
permasalahan utama di Teluk Meranti. Setelah makan malam dan perkenalan, kami
memulai berbincang-bincang. Perbincangan ini membuat saya sakit kepala.
Pembicaraan yang sedang kami lakukan sungguh intens dengan suasana yang agak
tegang, ditambah nada bicara yang juga sedikit meninggi. Setelah mereka
bercerita, saya mulai paham mengapa mereka bisa semarah itu. Masyarakat Teluk
Meranti telah dibohongi, dikhianati, hingga diadu domba. Mas Afif dari
Greenpeace bilang kepada saya, masalah hutan tidak sesederhana kelihatannya,
bahkan hutan bisa membuat seseorang berpoligami dan ‘membunuh’ keluarga sendiri.
Sungguh kepala saya bertambah sakit saat Pak Dani bilang, bohong jika ada yang
bilang keadaan hutan di Teluk Meranti masih bagus dan sempurna. Sebenarnya apa
sih yang sedang terjadi di sini?
|
1 km Setelah Hutan Di Depan Kita Ini Ternyata Telah Hancur |
Sungguh
kompleks. Ternyata dari jarak 1 km dari tepi sungai sudah merupakan HTI (Hutan
Tanaman Industri). Padahal perusahaan yang mengelolanya menjanjikan dengan
jarak 1,5 km. Mereka telah mengkorupsi 0,5 km hutan. Mereka telah membohongi
masyarakat. Perubahan fungsi hutan ini termyata berdampak pada kualitas air
sungai dan hasil tangkapan nelayan. Jika dulu Pak Dani berlayar selama satu
bulan dengan hasil melimpah hingga hasil tangkapannya bisa ia gunakan untuk
beristirahat selama 2 bulan, untuk sekarang, berlayar satu bulan hasilnya jauh
berkurang hingga ia hanya bisa beristirahat selama 1 minggu saja. Pak Yusuf dan
Bang Yanto bilang masyarakat masih mau untuk bertani bahkan mereka dulu tidak
perlu membeli beras, tapi pada akhirnya terbentur permasalahan hama, seperti
banyak sekali babi, monyet dan burung yang sudah tidak punya hutan untuk
mencari makanannya sehingga mereka turun menyerang hasil pertanian masyarakat.
Semua
ini terjadi karena uang. Pejabat setempat termasuk beberapa sesepuh di sana
tergiur uang perusahaan. Pak Dani bahkan tak segan menyebutnya iblis. Uang
membuat pejabat setempat membolehkan perusahaan tersebut mengambil hutan gambut
untuk diubah menjadi hutan industri secara semena-mena. Perlawanan warga untuk
mempertahankan hak atas bertahannya hutan malah dihadiahi dengan pemecatan Pak
Firdaus dari ketua RW. Ada banyak permasalahan kompleks di sini yang tidak bisa
saya jabarkan karena keterbatasan pengetahuan dan informasi yang saya terima, ‘musuh
dalam selimut yang menyelimuti serigala berbulu domba’ adalah perumpamaan
sederhana yang bisa saya berikan.
Setelah
selesai dari pembicaraan yang cukup berat itu, Mas Iman yang merupakan orang
perusahaan berkata bahwa seharusnya kejadian ini tidak terjadi seperti ini.
Perusahaan pasti memberikan bentuk kompensasi sesuai yang diinginkan masyarakat
yang telah disepakati, yang pasti dilaksanakan, tapi yang diulur adalah waktu
pelaksanaan dalam hitungan beberapa bulan saja. Wah seharusnya seperti itu, tidak
seperti di sini yang katanya memberikan kompensasi tapi tidak terealisasikan
hingga bertahun-tahun. Pikiran kami lelah, kami butuh beristirahat.
Hari ke-3:
Pagi
yang indah di Teluk Meranti. Kami siap berpetualang menyaksikan hutan di
Kerumutan melewati Sungai Kampar. Aaaaaah... Indah sekali.. Cantik sekali.. Di
sini, foto yang diambil asal jepret pun hasilnya akan jadi bagus. Ada banyak
tanaman menjulang dan banyak sekali satwa-satwa eksotis, seperti Burung Pucung,
Burung Ule, Burung Bubud, Burung Sriti, Beruk, Koka dan lain sebagainya.
Terdapat pula ikan yang melompat-lompat yang sedang dimakan oleh Biawak.
|
Suasana Rimba Seperti yang Ada di Film-film |
Kami
mampir di rumah nelayan Ibu Rosma yang sederhana lengkap dengan tempat
pengasapan ikan. Kami juga bertemu beberapa nelayan yang berkata bahwa hasil
tangkapan ikan mereka sangat sedikit. Selain karena musim kemarau yang panas
sehingga ikan segan untuk dekat-dekat dengan permukaan air, keberadaan hutan
juga menjadi pengaruh besar. Kami bertemu Bang Awaludin dan Kak Nenen yang
bercerita tentang tangkapan ikan mereka dan bahwa beberapa waktu yang lalu
pembalak hutan yang tidak bertanggung jawab menabrak dan merusak jala bahkan
lebih parahnya mengambil hasil tangkapan ikan mereka.
|
Rumah Nelayan dengan Lansekap yang Cantik |
Kami
pun mampir di area pembalakan hutan yang dimaksud. Terlihat bongkahan papan-papan
kayu yang sudah dipotong untuk siap diangkut. Terdapat jalan setapak yang
dibuat dari tumpukan kayu tersebut yang dibuat untuk memudahkan pengangkutan
kayu dari dalam hutan dengan sepeda, lalu di bawa ke tepi sungai dan diangkut
dengan perahu. Cara yang digunakan pun buruk sekali. Sangat tidak beradab.
Mereka membakar beberapa area dan menumbangkan pohon-pohon dengan asal. Memang
masyarakat sekitar menggunakan kayu di hutan dengan menggunakan beberapa pohon
saja sebagai bahan untuk membangun rumah mereka, tapi tidak seperti yang
dilakukan pembalak ini. Mereka jelas-jelas menggunakannya untuk dijual ke luar.
Semoga pelaku dan otak di balik kehancuran hutan ini dihukum sepantasnya. Kami pun mengakhiri kunjungan kami dan kembali melalui Sungai Kampar.
|
Hutan Kita yang Dihancurkan Secara Tidak Beradab |
“Saya
yakin masih ada harapan untuk hutan jika kebenaran ditegakkan dan kebathilan
ditumpaskan.“
Gajah Sumateraku Sayang, Harimau
Sumateraku Malang
Perjalanan
di Kerumutan dan Teluk Meranti kami akhiri siang itu. Setelah sekitar 3 jam
perjalanan, kami sampai di Camp Flying Squad di Taman Nasional Tesso Nilo. Dari
penelitian LIPI, Tesso Nilo merupakan taman nasional yang memiliki jumlah
spesies paling banyak. Sesampainya di sana seekor Gajah Sumatera yang cukup
besar tiba-tiba berjalan di belakang saya! Saya, Mas Aloy dari MBDC dan Mas
Gorga dari RACK Digital langsung mengantri untuk memeluk gajah tersebut. Rahman
namanya, ia sudah berumur hampir 30 tahun. Selang beberapa waktu dua gajah yang
lebih kecil dari Rahman bernama Teso dan Nela datang, ditunggangi oleh masing-masing
Mahout-penjaga dan pelatih gajah. Setiap gajah memiliki Mahout untuk
menemaninya.
|
Pemandangan dari Punggung Rahman Sangat Tinggi, Saya Terbang! |
Saat
kami datang, waktunya tepat sekali untuk gajah mandi di sore hari. Mereka mandi
minimal dua kali sehari untuk mengurangi panas tubuhnya. Sungai tempat mandi
gajah berjarak beberapa ratus meter dari camp. Saya bersama Mas Iman
menunggangi Rahman, dan Inez dari Greeneration menunggangi Teso. Sampai di
sungai, Rahman, Nela dan Teso menceburkan diri ke dalam air. Saya yang masih
berada di punggung Rahman membantu memandikannya. Menggosok kepala, leher dan
telinganya. Mereka menyelam, berdiri lalu menyelam lagi dengan interval waktu
tertentu sesuai yang mahout instruksikan kepada mereka. Ritual mandi sore pun
selesai, kami kembali ke camp lalu para gajah pergi untuk kembali ke shelter mereka.
|
Rahman Selesai Mandi |
Malam
kami habiskan untuk berbincang dengan beberapa mahout dan petugas yang berada
di Taman Nasional Tesso Nilo. Masalah utama di sini adalah batas wilayah dan
pengamanan lahan. Tidak adanya batas wilayah yang jelas di Tesso Nilo membuka
peluang untuk hal tersebut. Sudah lama isu ini diangkat tapi penegakan hukum
yang kurang jelas menjadikan hal ini terabaikan. Bahkan beberapa orang bisa
bebas masuk ke dalam taman nasional untuk berburu atau melakukan perambahan.
Hal ini menjadi ancaman bagi satwa di sini terutama Gajah dan Harimau Sumatera.
Ada sekitar lebih dari 60 ekor gajah yang ditemui dengan belasan ekor yang
sudah dilakukan pendataan DNA. Dan terdapat belasan harimau yang sempat ditemui
dengan 7 ekor harimau yang sudah dilakukan pendataan DNA. Harimau Sumatera
membutuhkan 5-10 kg daging perhari. Jika perburuan hewan dan perambahan hutan
di Tesso Nilo berlanjut, maka tak ada makanan untuk harimau dan tak ada wilayah
yang cukup luas untuk gajah. Itu berarti akhir dari hidup mereka. Saya juga
bertanya tentang kamera jebakan. Kamera jebakan yang terpasang sebanyak lebih
dari 60 buah berhasil menangkap gambar puluhan Gajah Sumatera, namun hanya satu
saja untuk Harimau Sumatera. Saya berharap lebih banyak dari itu. Beberapa
kamera yang dipasang juga banyak yang dicuri, mungkin sebenarnya akan ada
banyak gambar yang bisa kita dapatkan jika pengamanan kawasan ini bisa
ditingkatkan.
Hari ke-4:
Perjalanan
terakhir pagi itu adalah melintasi hutan heterogen Taman Nasional Tesso Nilo
yang dipimpin oleh Pak Junjung. Kami juga sempat bertemu Imbo-gajah kecil di
perjalanan yang sepertinya ia ingin mengikuti kami. Mbak Melani dari Greenpeace
dan Kak Lusiana menjadi peserta yang paling semangat untuk berteriak histeris
pagi itu karena tidak menyangka medan yang akan kami tempuh tidak beralaskan
jalan setapak yang rata saja, tetapi banyak halang rintangan dahan pohon,
sungai, dan rawa-rawa berlumpur yang siap melahap kaki kita. Dan benar saja,
banyak insiden yang terjadi seperti terjatuh, tercebur, dan serangan pacet.
|
Salah Satu Rintangan, Masih Banyak Rawa Menghadang |
Saya
sempat bertanya kepada Pak Junjung, apa yang harus kita lakukan jika bertemu
Harimau Sumatera nanti? Pak Junjung bilang memang pernah ia membawa rombongan
bertemu dengan Harimau Sumatera beberapa puluh meter di jalan depan mereka.
Asalkan kita tidak memprovokasi dan tetap tenang, Harimau Sumatera akan pergi
dan sama sekali tidak peduli akan kehadiran kita. Saya bertanya karena berharap
bertemu satu ekor saja Harimau Sumatera. Tapi sepertinya tidak akan terwujud.
Saat
telah berjalan lama di hutan, saya merasa sedih karena hingga hari terakhir,
saya tidak sempat bertemu dengan satupun Harimau Sumatera. Saat itu saya
berjalan paling depan dalam rombongan. Tiba-tiba saya mendengar sesuatu. Saya
sangat yakin saya mendengarnya. Saya mendengar suara geraman seekor mamalia
yang familiar dan yang sedang saya cari-cari. Saya sering mendengarnya di Kebun
Binatang Surabaya karena akhir-akhir ini saya meneliti mereka. Bukan suara gajah,
tupai, maupun monyet. Itu suara khas Harimau Sumatera, berada tidak jauh di
sebelah kanan saya berjalan. Sengaja tidak saya beritahukan kepada yang
lainnya. Cukup saya saja yang tahu, karena harimau di sini ternyata sangat
pemalu karena suaranya terdengar melenyap. Perjalanan saya akhiri dengan rasa
puas dan bahagia. Misi pribadi saya selesai.
|
Anak Gajah Berumur 3 Bulan, Diapit Imot dan Nela, Nela Sangat Menyayangi Adiknya. |
Setelah
kami mampir dari menara pengawas, kami kembali ke camp tapi mampir dulu menghampiri anak gajah kecil yang sangat imut. Kami bertemu dengan
salah satu kepala pengawas Tesso Nilo yaitu Pak Suharna dari BKSDA. Ternyata
penegakan hukum yang harus dilakukan secara tegas menjadi solusi utama masalah
di Tesso Nilo. Personel keamanan yang sedikit seperti polisi hutan dan
perlengkapan keamanan diri yang tidak dapat terealisasikan karena pemerintahan
yang kurang mendukung akan memperparah keadaan Tesso Nilo. Tiga hari sudah kami
lewati dan permasalahan sebenarnya bermuara pada satu titik yaitu ketegasan dan
keseriusan pihak yang memiliki kewenangan lebih untuk menegakkan hukum dan
menjaga hutan karena tanpa kesungguhan pihak yang ada di atas, pelaku kegiatan
yang berada di bawah akan statis dan tidak bisa berkembang.
“Hanya
kita yang dapat melindungi hutan, keanekaragaman dan keindahcantikan di
dalamnya.”
Epilog
Petualangan
dalam Bearing Witness Greenpeace Indonesia pun berakhir. Dan kita juga punya rumus baru:
Rumus:
1. Nggak
peduli hutan itu ndeso.
2. Pilihlah
calon pemimpin yang memiliki kepedulian tentang hutan. Tanyakan kepada mereka secara langsung seperti apa kepedulian mereka pada hutan. Buat apa memilih
pemimpin yang ndeso.
3. Banyak
yang menggantungkan hidupnya secara langsung pada hutan, dan kita pun secara
tidak langsung. Pemimpin ndeso yang tidak memiliki kepedulian pada hutan,
berarti tidak akan peduli pula pada kehidupan kita.
4. Dengan
memilih calon pemimpin yang memiliki perhatian besar pada hutan, itu berarti
kita akan menyelamatkan lingkungan, satwa, dan keberlangsungan kehidupan
seluruh makhluk hidup termasuk anak cucu kita.
"Saya secara pribadi mengajak teman-teman sekalian untuk menjadi pemimpin yang nggak ndeso. Pimpinlah dan ajaklah sekeliling kita untuk peduli akan hutan sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang bisa kita lakukan secara kreatif. Menulis, mendesain, meneliti, atau melakukan kegiatan sekecil apapun yang kita dedikasikan untuk hutan. Greenpeace juga selalu menawarkan banyak hal yang dapat kita lakukan demi hutan. Jadi sebenarnya tidak ada alasan bagi kita lagi untuk pura-pura tidak tahu dan tidak mau berbuat apa-apa untuk melindungi hutan."
Salam saya sampaikan kepada semua pelindung hutan yang keren dan berpikiran maju.