PROLOG
Sore
itu, aku terkejut saat sekretarisku memberikan sebuah kartu pos bergambar
Gunung Rinjani yang indah kepadaku. Nama pengirim kartu pos itu adalah seorang
wanita yang familiar dan sudah sangat ingin kutemui sejak lama. Di kartu pos
tersebut tertuliskan nomor handphone dan
sebuah pesan singkat: “Aku menemukanmu, Ariya! Sekarang bisakah kau penuhi
janjimu? Temukan aku di Lombok-Sumbawa...” Pasti. Aku bisa. Akan kutemukan kau,
Nana.
Saat
itu juga aku memesan tiket pesawat dari Surabaya dengan tujuan Mataram, ibu kota
Nusa Tenggara Barat.
--oOo--
Aku
sedang berdiri di bangunan cantik dengan desain atap menyerupai atap rumah lumbung
arsitektur Sasak. Sudah tiga menit lepas dari jam 6 pagi aku berada di area pintu
keluar Bandar Udara Internasional Lombok untuk menunggu seseorang yang katanya
akan menjemputku. Sedari tadi kulihat banyak orang berwajah lokal maupun bule
berlalu-lalang membawa koper besar dan menenteng tas backpack mereka masing-masing. Jika tujuan mereka ke Lombok-Sumbawa
untuk berlibur dan berwisata, aku tidak. Aku tidak pernah bisa menikmati
wisata. Terakhir kali aku berwisata yang aku dapatkan hanyalah lelah dan
kekecewaan. Toh, tujuan utamaku ke sini adalah memenuhi janji untuk menemukan Nana.
Seorang
bapak berkacamata mendekatiku. Ia meminta maaf karena tidak menyadari jika aku
sudah datang. Lalu dengan sopan ia memperkenalkan diri, Pak Dedi namanya. Nomor
handphone yang ada di kartu pos Nana
adalah milik Pak Dedi. Beliau lah yang akan membantuku mencari Nana. Setelah
memasukkan barang-barangku ke bagasi mobil, kami berangkat menuju ke arah timur
kota Mataram. Dalam perjalanan yang terlihat penuh dengan padang rumput dan
pepohonan hijau, aku kembali teringat Nana. Dulu Nana sangat dekat denganku. Ia
sudah menghilang sejak 10 tahun yang lalu. Terakhir kali aku bertemu dengannya
adalah sesaat setelah kami lulus SMA. Ia mengajakku ke Gunung Bromo bersama
teman-teman yang lain namun aku menolak ajakannya. Wajah sedihnya adalah
ekspresi terakhir yang aku lihat darinya. Sungguh aku menyesal. Lamunanku buyar
saat mobil berhenti dan Pak Dedi memanggilku. Kami sudah sampai. Inilah tempat
dimana satu-satunya petunjuk yang Nana berikan kepada Pak Dedi untuk menemukan
dirinya.
PETUNJUK
PERTAMA DI TAMAN MAYURA
Taman
Mayura. Itulah yang tertulis di papan nama tempat ini. Kesan pertama yang aku
rasakan saat menginjak Taman Mayura adalah suasana religius, asri, dan sangat
bersejarah. Pak Dedi memberikanku sebuah kain selendang kecil berwarna merah
dan menyuruhku memakainya. Ia memasang kain merah di pinggangnya dan aku pun
menirunya. Namun Pak Dedi yang melihatku seketika mengernyitkan dahinya dan
terlihat heran.
“Mas
Ariya, apakah sudah menikah?” tanyanya
“Belum,
pak.”
“Sudah
punya pacar?”
“Hampir...
He..he..” jawabku sambil meringis. Pacar? Mengapa Pak Dedi mulai tanya yang
aneh-aneh, pikirku.
“Kalau
begitu, jangan mengikatkan kainnya di sebelah kiri seperti saya. Ini tanda
bahwa saya sudah menikah. Ikatan di sebelah kanan untuk yang sudah punya
kekasih. Kalau mas Ariya yang belum beristri atau pun belum punya pacar, ikatkan
saja simpul kainnya di bagian tengah.”
“Walah..
Iya pak..” akupun membetulkan ikatanku. Dengan begini jadi terlihat jelas siapa
yang masih jomblo di taman ini, ternyata banyak juga. Tapi ternyata ikatan
selendang ini melambangkan terikatnya niat jahat maupun hal buruk di lingkungan
yang suci ini. Aku mulai tertarik dengan tempat ini.
Kami
masuk ke dalam kawasan Taman Mayura. Ada kolam besar di tengah-tengah taman
yang di dalamnya berdiri bangunan terbuka yang disebut Bale Kambang. Cantik
sekali. Aku teringat dengan Pantai Balekambang di Malang dengan pura yang
berada di tengah pulau. Apakah Bale Kambang di Taman Mayura ini ada hubungannya
dengan itu? Apakah pulau ini punya ikatan khusus dengan pulau Jawa? Aku semakin
tidak mengerti saat melihat banyak patung khas kebudayaan Muslim, Cina dan
Jawa. Aku ingin bertanya namun Pak Dedi terus berjalan karena Bale Kambang
bukanlah tujuan kami.
Beberapa
pura telah kami lewati, akhirnya kami berhenti pada satu pura. Disana terlihat
seseorang pria berpakaian putih yang sepertinya telah usai bersembahyang. Ia berdiri,
mengangguk tersenyum pada Pak Dedi, lalu ia menuju ke arahku. Sepertinya ia
tahu kegelisahanku tentang tempat ini karena ia mulai menjelaskan tentang Taman
Mayura.
“Taman
Mayura merupakan saksi keberadaan kerajaan Singasari dan orang-orang Bali di
Lombok pada abad ke-19 saat penjajahan Belanda, karena itulah tak perlu heran
jika menemukan kemiripan nama hingga arsitektur Taman Mayura dengan beberapa
tempat di Jawa maupun Bali. Selain itu, tempat ini juga merupakan saksi bahwa
kebhinnekaan sudah ada sejak dulu tanpa ada masalah. Berbagai ras dan agama
dapat hidup berdampingan dengan rukun. Tempat ini sungguh indah, bukan?”
jelasnya.
“Iya,”
aku mengangguk menyetujui.
“Saya adalah pemangku di Taman Mayura.
Sekarang ikut saya ke Bale Pawedan. Beberapa minggu yang lalu seorang gadis
menitipkan sesuatu. Itu yang akan saya berikan kepada Anda.”
Sepucuk
amplop surat dan sebuah kotak antik berukuran kecil diberikan olehnya. Kotak
ini dibalut dengan kain songket khas NTB berwarna merah. Seperti koper, kotak
ini terkunci dengan kode kombinasi. Anehnya bukan dengan angka 0 hingga 9,
namun dengan huruf A hingga Z yang berjumlah 7 digit. Di dalam amplop yang
kuterima, terdapat kartu dengan lambang aneh, berbentuk huruf ‘n’ yang
bersambung dengan angka ‘9’. Di bawah lambang itu tertulis ‘Pura Mayura’. Apa
maksudnya? Selain kartu, terdapat secarik kertas bertuliskan ‘Mercusuar Tanjung
Ringgit’. Di sanalah petunjuk berikutnya.
PETUNJUK
KEDUA DI TANJUNG RINGGIT
Sekitar
tiga jam perjalanan akhirnya kami melihat sebuah menara dari kejauhan. Pak Dedi
mengiyakan saat kutanya apakah kita hampir sampai. Syukurlah, karena aku sudah
kewalahan selama dalam perjalanan, lalu mobil berhenti. Aku keluar mengikuti
Pak Dedi melewati jalan setapak dikelilingi semak dan pepohonan kering. Pemandangan
selanjutnya membuatku terpaku di tempat. Di depan mataku terhampar
tebing-tebing cadas yang curam. Langit biru terpantul sempurna di samudera
biru. Gulungan ombak yang menyapu laut saling menghempas tebing dan menciptakan
buih-buih yang terlihat seperti butiran mutiara. Tak sengaja aku meneteskan air
mata. Sungguh, sungguh indah sekali. Aku tak tahu berapa lama aku terdiam di
sana, namun sempat aku menoleh dan Pak Dedi mengajakku untuk beranjak.
Mercusuar
Tanjung Ringgit sudah di depan mata. Aku sudah memantapkan hati, siap tak siap
untuk memanjat mercusuar demi petunjuk Nana berikutnya. Namun Pak Dedi malah berbelok
ke arah bangunan bertuliskan Departemen Perhubungan. Kami bertemu dengan
petugas di sana dan menjelaskan tujuan kedatangan kami. Petugas tersebut
mengangguk paham sambil mengambil sesuatu dalam lemari. Sepucuk amplop dari
Nana! Aku bersyukur dan lega dalam hati karena tidak perlu memanjat mercusuar
peninggalan Belanda ini yang ternyata masih berfungsi dan digunakan sebagai
petunjuk bagi kapal-kapal yang beroperasi di sekitar Tanjung Ringgit.
Tujuan
kami selanjutnya sudah diketahui. Pak Dedi bergegas kembali ke mobil, namun aku
berbicara kepada Pak Dedi untuk dapat sedikit berlama-lama di sini karena aku
ingin sedikit lagi menikmati Tanjung Ringgit yang terlihat masih belum terlalu
banyak pengunjung. Aku dapat melihat banyak sapi yang sedang mencari makan
berserta pulau Sumbawa di seberang lautan. Saat aku mengamati lautan dari tepi
tebing, terlihat banyak sekali terumbu karang dan ikan-ikan yang cantik. Aku
mencoba melewati jalan kecil dan tidak sengaja menemukan sebuah meriam yang
katanya merupakan peninggalan Jepang. Setelah puas, aku kembali ke mobil dan
melanjutkan perjalanan.
Di
dalam perjalanan, aku melihat kembali isi dari amplop yang baru saja aku
terima. Kartu berlambang seperti angka ‘6’ terputus atau huruf ‘G’ kapital
bertuliskan Tg. Ringgit membuatku semakin tidak mengerti. Aku berharap tujuan
selanjutnya dapat sedikit mencerahkan maksud dari petunjuk-petunjuk berupa
simbol ini. Karena yang akan kami tuju selanjutnya adalah Desa Sade, permukiman
adat Suku Sasak yang masih mempertahankan adat istiadat dan kebudayaan Sasak
dengan sangat baik, hingga memperoleh penghargaan sebagai salah satu Desa
Wisata terbaik di Indonesia.
PETUNJUK
TERAKHIR DI DESA SADE?
Tulisan
‘Selamat Datang’ saat memasuki kawasan Desa Sasak Sade membuatku sedikit lega.
Sekarang kami berada di tengah-tengah keunikan arsitektur Sasak. Aku terkesan
dengan seluruh rumah yang dinaungi atap dari jerami. Dindingnya dari anyaman
bambu yang rapih menambah keeksotisan desa ini. Terdapat pula beberapa lumbung dengan
bentukan lengkungnya yang khas, cantik sekali. Aku semakin penasaran ingin
segera melihat bagaimana keadaan interior rumah adat Sasak ini, namun Pak Dedi
masih sibuk menelepon.
Sesaat
setelah Pak Dedi menutup teleponnya, seorang pria yang masih muda mengenakan
batik biru bermotifkan lumbung-lumbung menghampiri kami dan kalau tidak salah
itu merupakan motif Batik Sasambo, batik khas NTB. Ternyata ia adalah tour guide desa Sade. Ia yang akan
mengantar kami ke kepala desa sekaligus menjadi penerjemah kami. Ya, sebagian
penduduk desa Sade terutama orang tua di sana tidak berbahasa Indonesia dan
hanya menggunakan bahasa Sasak.
Jalanan
desa ini dipenuhi anak kecil yang bermain-main. Terlihat pula ibu-ibu yang
sedang memintal benang dan menenun kain. Beberapa aksesoris cantik juga dijual
di beberapa toko yang ada. Akhirnya kami sampai di rumah kepala desa. Untuk
masuk kami harus menunduk, selain karena pintunya rendah, itu sebagai pertanda untuk
menghormati tuan rumah. Di dalamnya duduk seorang kakek yang berbicara dalam
bahasa Sasak dan sepertinya ia mempersilahkan kami duduk. Aku pernah melihat di
televisi bahwa lantai rumah adat ini dilapisi kotoran kerbau. Aku melihat
kecanggihan dari penerapan kotoran kerbau ini, karena hal tersbut dimaksudkan
untuk menjaga suhu ruangan saat panas
agar tetap sejuk, dan saat dingin agar tetap hangat.
Setelah
memperkenalkan diri dan berbincang-bincang sebentar akhirnya kepala desa
mengeluarkan sebuah amplop yang sudah kutunggu-tunggu untuk diperlihatkan.
Namun kepala desa menolak memberikannya sekarang. Beliau memintaku untuk
bermalam di sini karena ia ingin menjamuku makan malam. Aku sangat terharu
karena aku orang dari luar dan asing, namun mereka menerimaku seperti keluarga
mereka sendiri. Makan malam usai dan kami lanjut ngobrol dengan bahasan yang
menarik seperti prosesi pernikahan adat Sasak yang unik yaitu dengan penculikan
dan kawin lari. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat seorang pria menceritakan
pengalamannya dulu. Aku mulai tersenyum. Tempat ini menyenangkan sekali. Dan
aku merindukan Nana.
Pagi-pagi
sekali bahkan matahari belum terbit saatnya aku kembali bersiap untuk
melanjutkan perjalanan. Kepala desa telah memberikan amplopnya kepadaku semalam
sekaligus menjelaskan maksud dari lambang pada kartu-kartu yang ada. Lambang tersebut
merupakan angka-angka aksara Sasak atau juga dikenal sebagai aksara Jejawan.
Kartu yang kudapatkan saat berada di Taman Mayura adalah 7. Angka pada kartu Tanjung
Ringgit adalah 4. Dan kartu yang kudapatkan di Desa Sade adalah 6. Kepala desa
tidak bisa menjelaskan maksud di balik angka-angka itu.
Sekarang
aku dibingungkan untuk memilih. Tujuan berikutnya pada amplop tidak hanya satu,
tapi tiga. 1. Hutan Pusuk, 2. Pulau Bungin, dan 3. Moyo Island. Ada yang aneh
pada petunjuk ini. Mengapa Moyo Island tidak ditulis Pulau Moyo? Dan apa maksud
angka-angka pada kartu? Mengapa Nana menggunakan huruf-huruf sebagai kode?
Tunggu. Tunggu. Huruf? Dulu aku sering bermain tebak kata bersama Nana. Kami
diberi kesempatan tiga kali kesalahan untuk memilih huruf untuk menebak kata
yang tepat. Jika seperti itu berarti.....
Aku
mulai mencoret-coret buku catatanku.
Huruf
ketujuh dari kartu ‘Pura Mayura’ adalah ‘Y’.
Huruf
keempat dari kartu ‘Tg. Ringgit’ adalah ‘I”
Huruf
keenam dari kartu ‘Desa Sade’ adalah “A”
Berarti
sisa huruf lainnya bisa kita perkirakan dengan melihat jumlah huruf destinasi
yang tersisa. Memang kurang satu petunjuk tempat. Namun jika ada 6 huruf yang sudah
diketahui maka menemukan huruf ketujuh untuk membuka kotak itu, hanyalah
masalah waktu.
Ketemu!
Kode itu adalah ‘H O L I D A Y’! Aku coba memasukkan huruf-huruf itu. Dan....
Terbuka! Sebuah kartu pos di dalamnya dengan foto Pulau Moyo. Yang tertulis di
sana adalah nomor handphone dan
sebuah pesan singkat: “Aku mencintaimu...”
“Pak
Dedi, kalau nanti saya ke Taman Mayura lagi, ikatannya akan saya pasang di
sebelah kanan....”
“Lho?
Apa? Mas Ariya kenapa nangis?”
“Tidak
apa-apa... Ayo kita segera berangkat, pak!”
--oOo--
Nomor
handphone di kartu pos pada kotak
adalah milik nelayan pantai utara Sumbawa Besar. Ia mengantarku menuju Pulau
Moyo dengan perahunya. Aku hampir sampai di dermaga dan dari kejauhan melihat
siluet wanita cantik yang selalu ada di mimpiku. Namun ini bukan mimpi. Perahu
menepi. Aku melompat dan segera berlari ke arahnya. Nana. Aku memeluknya sambil
berkata, “Aku mencintaimu.....”
EPILOG
“Terima
kasih kamu telah memaksaku untuk ke Lombok Sumbawa. Aku tidak akan pernah tau
bahwa liburan itu akan sangat mengasyikkan. Aku tidak pernah tau kalau semua
lelah kita saat berlibur akan terbayar setara. Bahkan lebih!”
“Yah..
Itulah tugasku di sini. Membuat wisatawan seperti kamu tak akan pernah
melupakan Lombok Sumbawa,” ujar Nana.
“Aku
penasaran. Huruf yang kelima yaitu ‘D’, destinasi apa yang ingin kamu tunjukkan
ke aku?”
“Belum
aku temukan, hahaha..” ia tertawa. “Masih banyak tempat wisata di Lombok
Sumbawa yang ingin aku gali, lalu aku sebar luaskan ke masyarakat luas termasuk
sebagai tujuan berlibur yang wajib dikunjungi masyarakat internasional. Sungguh
misi yang sangat asik, kan? HOLIDAY is Lombok Sumbawa, kan?”
“Ya!
HOLIDAY is Lombok Sumbawa!”
--oOo--
Keterangan:
Tulisan ini merupakan kisah fiktif namun menggunakan setting dan latar belakang
yang sebenarnya ada pada Lombok dan Sumbawa.